Momo Taro
May 09, 2013
BRUK . Anak lelaki itu melempar tasnya sembarang, menghiraukan laptop
yang ada di dalamnya, lalu dengan cepat melesat ke kerumunan
gerombolan gorilla galau cinta. Sebenarnya tidak ada gerombolan
dengan nama itu. Hanya sebutanku untuk mereka. Kenapa kusebut begitu?
Coba tengok, gerombolan dengan tiga orang berbadan gempal yang ukuran
bajunya pasti lebih dari xxxl, berkumis, dan berambut kribo abis.
Makin terlihat menyeramkan karena warna kulit hitam legam. Oh ayolah,
aku tidak bermaksud bersikap diskriminatif. Hanya saja, penampakan
seperti itu benar-benar membuat orang ngeri. Mirip gerombolan
gorilla. Tapi coba perlahan kau dekati mereka, dengarkan apa yang
mereka bicarakan, kujamin kau akan tertawa menemui mereka membahas
gita cinta SMA, kadang diselipi tangis membahana pula. Siapa sangka
makhluk-makhluk gorilla yang kerjanya hanya makan tidur dalam kelas
bisa melakukan hal seperti itu.
Oke, kembali ke anak lelaki itu. Dia tidak termasuk dalam gerombolan
gorilla awalnya. Kalaupun termasuk, dia tidak akan kumasukkan daftar
gerombolan gorilla. Dengan badan super kurus menjulang kayak tiang,
betis kecil mirip anggota girl group, rambut acak-acakan,
serta muka lusuh. Ketimbang gorilla, dia lebih cocok masuk list
gerombolan zombie.
***
Hari berjalan sangat lambat ketika aku harus berjumpa dengan kalkulus
aljabar. Pelajaran hitungan yang sangat membosankan yang pasti akan
kutinggal hanya jika tidak ada Kazu di kelas itu. Kau tau Kazu ? Dia
lelaki yang sangat tampan, sopan, dan menawan. Aku tidak akan bisa
mendeskripsikan dia secara gamblang. Terlihat sempurna, tapi kurasa
banyak yang disembunyikan. Mungkin poin itu yang membuatku penasaran
sehingga melimpahkan perhatianku padanya. Entahlah.
***
“Kenapa harus aku yang mengantarmu ? Kenapa tidak kau minta si Kazu
saja?”. TOK. Ponsel yang sedari tadi kugenggam sudah mendarat pelan
di kepalanya. “Kau kira Kazu siapaku hah ? Seenakmu berkata begitu”
, “Nah kau kira aku siapamu hah ? seenaknya menyuruhku”.
Perdebatan bodoh selalu saja terjadi diantara kami. Oh, kuperkenalkan
dulu, yang ini Taro. Lelaki yang masuk dalam list gerombolan zombie
ku ini adalah teman superku. Teman super yang langsung membuatku
nyaman sejak pertama kali kami berbincang. Taro enak dijadikan tempat
cerita. Dia akan mendengarkanku dengan seksama dan memberi komentar
tanpa kuminta. Walau sebenarnya aku lebih suka bercerita tanpa
dikomentari, walau sebenarnya komentar yang dia berikan sering
menjadi asal usul perdebatan bodoh kami, tetap saja aku hanya bisa
menceritakan apapun pada Taro.
“Kenapa tidak kau katakan saja pada Kazu kalau kau menyukainya?”,
si zombie tiba-tiba menanyaiku ketika mobil yang dia sopiri ini
terjebak lampu merah. “Kau bertanya atau menyuruh?”, jawabku
sinis. Sial, apa-apaan dia. “Tadi kubilang kan ‘kenapa’. Sejak
kapan sih kata kenapa bisa membentuk kalimat perintah?”. “Tidak
akan bisa”. “Eh? Apanya yang tidak akan bisa?”. “Tidak akan
pernah bisa kukatakan padanya”. “Yaelah, kenapa? Dia tampan,
pintar, kulitnya nggak sawo matang, kalem, sopan. Cocok denganmu”.
Seketika tawaku meledak mendengar ucapan Taro. “Mo? Kau kenapa
tiba-tiba ketawa?”, jadi zombie ini nggak tau kenapa aku tertawa?
“Bodoh. Yang kau katakan tentang Kazu barusan, di telingaku
terdengar seperti kau sedang menawarkan Kazu seolah-olah dia barang
daganganmu, bodoh”. “Masa sih?”. Pembicaraan kami berhenti
seiring dengan nyala lampu hijau perempatan.
***
Goresan pensil berbentuk burung pipit dengan pena di paruhnya,
berlatar belakang mentari senja, masih terpigura rapi di kamarku.
Tiga tahun yang lalu, goresan pensil itu tertempel di kelas paling
ujung sekolahku. Kelas yang entah kenapa memiliki aura yang berbeda
sejak sebelum aku mengenalmu hingga kau tidak lagi disitu. Namun
karena penghuni aslinya sudah harus pergi untuk melanjutkan
perjalanannya masing-masing, maka oleh penghuni yang baru semua
tempelan yang ada di kelas itu dibersihkan. Seorang rekanku yang juga
penghuni baru kelas itu, segera menghubungiku dan memberiku beberapa
lembar kertas berisi goresan-goresan pensil. Aku heran. Kulihat nama
yang tertera. Namamu. “Terima kasih, Ca”, segera saja kusimpan
lembar-lembar kertas itu.
Lagi-lagi tenggelam dalam goresan pensil itu. Bodoh. Kenapa masih
saja aku mengingatmu. Sudah seharusnya kau pergi. Sudah bertahun kan.
“Taro kau dimana sekarang? Bisa kau temui aku?”. Yang ada di
pikiranku saat ini hanya Taro. “Yak! Kau kenapa Mo? Suaramu seperti
sedang, kau menangis?” . Yang aku butuhkan saat ini hanya bercerita
pada Taro. “Dia datang lagi”. Seketika Taro menghentikan
pertanyaannya dan aku mulai mengisahkan apa yang kurasa. Ya, hanya
dia yang bisa. Hanya dia yang mau mendengarku.
0 commments